Akhir-akhir ini sering kita dengar pemberitaan bahwa hutang Republik Indonesia kita tercinta ini sangatlah besar dan mengkhawatirkan. Hutang pemerintah digadang-gadang mencapai Rp 4.000 triliun! Wow! Nilai itu terdengar sangat fantastis dan ada juga yang bilang bahwa hutang tersebut akan terbawa hingga anak cucu dan generasi penerus bangsa Indonesia di masa depan. Melihat hutang yang jumlahnya ribuan triliun tidak ada yang bisa bilang bahwa hutang tersebut berjumlah kecil karena nilai tersebut bisa membiayai APBN hingga bertahun-tahun. Sudah puas dengan melihat besarnya hutang Indonesia maka anda perlu melihatnya dari sisi yang berbeda. Bagi anda yang merasa hutang Indonesia sangatlah besar maka anda belum mempelajari perekonomian secara menyeluruh dan melihat bagaimana negara-negara lain dalam mengelola hutangnya. Oleh karena itu dalam artikel ini akan dibahas hutang Indonesia dari segi ekonomi dan bukan hanya tentang nominal.
Sebelum kita berbicara mengenai hal yang rumit mengenai perekonomian maka saya akan menjelaskan hal yang umum mengenai hutang. Anda pasti sudah tahu orang yang berhutang bukanlah hal yang bagus. Mungkin anda melihat tetangga anda rela berhutang untuk membeli mobil yang kemudian kebingungan dalam membayar cicilan perbulannya atau mungkin anda sendiri merasakannya saat berhutang bank dalam membeli rumah dengan skema KPR. Berhutang akan buruk jika hutang tersebut tidak menghasilkan nilai produktivitas namun berhutang akan memberikan dampak yang baik jika menghasilkan produktivitas. Oleh karena itu banyak pengusaha dan bisnis yang mau berhutang untuk mengembangkan bisnisnya. Hutang tersebut digunakan untuk menghasilkan pendapatan yang lebih besar di masa depan dan membuat pemasukan lebih besar juga di masa depan dan itu tentu saja berbeda. Jadi anda harus mengubah pemikiran tentang hutang bahwa hutang itu buruk atau hal yang sejenisnya karena hutang itu sendiri akan memberikan hal yang positif jika ditaruh pada aset-aset yang produktif.
Lalu ada gambaran lain lagi yaitu mengenai alokasi hutang. Misalnya saja ada seseorang yang memiliki aset kekayaan sebesar Rp 3 miliar lalu dia berhutang sebesar Rp 6 miliar apakah itu adalah hutang yang aman? Tentu saja tidak karena jika dia mengalami sebuah krisis finansial maka ia akan kesulitan dalam membayar hutang tersebut dan bisa dinyatakan bangkrut karena tidak bisa membayar hutangnya. Namun apa yang terjadi jika orang tersebut hanya meminjam Rp 1 miliar? Orang tersebut kemungkinan besar masih bisa membayar dengan asetnya Rp 2 miliar jika terjadi hal yang tidak diinginkan dan menyebabkan uang hutangnya habis. Itulah perbedaan antara orang yang menggunakan hutang dengan aman atau tidak. Sama seperti orang, negara juga memiliki kalkulasi yang hampir sama.
Hutang vs PDB
Rasio yang paling umum dalam mengukur keamanan hutang negara adalah dari rasio Debt vs GDP atau Hutang vs PDB (Produk Domestik Bruto). Nilai PDB ini sendiri merupakan nilai untuk mengukur besarnya ekonomi suatu negara yaitu PDB merupakan nilai barang atau jasa yang dihasilkan oleh negara tiap tahun atau bisa juga dikatakan nilai produksi negara tiap tahun. Masing-masing negara memiliki nilai PDB yang berbeda dan semakin besar PDB negara maka semakin besar juga nilai ekonomi suatu negara. Saat ini Indonesia memiliki PDB yang sudah menembus US$ 1 triliun dan jika dirupiahkan dengan kurs Rp 13.500/USD maka nilainya mencapai Rp 13.500 triliun dan jika kita membandingkan dengan hutang Indonesia yang mencapai Rp 4.000 triliun maka nilainya hanya mencapai 29,6%. Ini artinya hutang Indonesia hanya sepertiga dari kemampuan ekonomi negara dan masih banyak ruang dengan ketentuan pada Undang-Undang yang menyebutkan Indonesia bisa mengambil hingga maksimal 60% dari PDB.
Hutang vs PDB di Negara Lain
Setelah melihat rasio Hutang vs PDB Indonesia kita bisa membandingkannya dengan negara lain. Negara-negara lain yang maju bahkan memiliki rasio hutang terhadap PDB yang jauh lebih besar melebihi ambang wajar. Amerika Serikat misalnya memiliki rasio hutang terhadap PDB sebesar 105% yang artinya Amerika Serikat berhutang lebih besar daripada nilai ekonominya. Jepang lebih mengerikan dengan rasio sebesar 250% sedangkan itu tidak membuat negaranya mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi melainkan banyak resesi dan ekonomi melemah sekarang. Di Cina memiliki rasio 45% dan jumlahnya terus meningkat dalam 5 tahun terakhir (di tahun 2012 rasio hutang Cina 34%). Sedangkan di India cenderung konstan di angka 69%.
Mengapa Negara Bisa Berhutang Melebihi Nilai PDB?
Negara-negara yang berhutang diatas PDB itu hutangnya didominasi oleh surat hutang yang dibayar dengan menggunakan mata uangnya sendiri. Negara akan mengeluarkan surat hutang dengan kupon yang telah ditentukan dan itu dibayarkan dengan mata uangnya sendiri. Rasio hutang terhadap PDB yang mencapai lebih dari 100% tetap saja bisa dibilang aman karena negara bisa mencetak mata uangnya sendiri. Ibaratnya anda meminta hutang terhadap orang lain dan anda bisa mencetak uang itu sendiri untuk membayar hutang itu. Tentu saja ini terdengar lucu oleh masyarakat awam namun hal inilah yang terjadi pada perekonomian dan tentu saja mencetak uang tidak sembarangan dan memerlukan banyak tinjauan dari banyak aspek ekonomi sehingga negara tidak bisa sembarangan dalam mencetak uang. Namun tetap saja jika negara berhutang dalam mata uangnya sendiri maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut bisa membayarnya walaupun terjadi krisis sekalipun karena negara dapat mencetak uang itu sendiri. Oleh karena itu banyak negara seperti Jepang yang berhutang Yen dan Amerika yang berhutang Dollar tetap dapat membayar hutangnya. Indonesia juga demikian, pemerintah bisa mengeluarkan surat hutang yang menggunakan rupiah dalam pembayarannya.
Perbaikan Segmen Hutang Indonesia
Berkaca pada krisis moneter di tahun 1998 Indonesia tidak ingin mengulanginya kembali. Di krisis moneter hutang luar negeri Indonesia sangat besar baik swasta maupun pemerintah. Hutang luar negeri swasta senilai US$ 63 miliar dan pemerintah senilai US$ 53 miliar sedangkan PDB Indonesia sendiri sebelum krisis moneter saat itu senilai US$ 220 miliar yang artinya jumlah utang luar negeri Indonesia saja lebih dari 50% dari total PDB belum lagi ditambah hutang dalam negeri. Di masa sekarang hutang Indonesia yang besar dalam bentuk SBN (Surat Berharga Negara) atau bisa juga disebut SUN (Surat Utang Negara) dengan berdenominasi rupiah. Dari total Rp 4.000 triliun, total hutang luar negeri pemerintah Indonesia sebesar Rp 777,6 triliun atau 19,27% dari total nilai hutang. Sisanya adalah hutang dalam bentuk SBN yang bisa dibayar dengan bentuk mata uang negara sendiri yaitu rupiah. Total hutang luar negeri Pemerintah dan Swasta sendiri berjumlah US$ 357,54 miliar yang sebesar 35,7% dari GDP. Hal itu jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan pada saat terjadi krisis moneter. Hutang itu sendiri dilakukan secara diversifikasi yaitu hutang ke berabagai negara dengan mata uang yang berbeda-beda.
Kestabilan Rupiah
Saat terjadi krisis moneter di tahun 1998 rasio hutang luar negeri Indonesia yang besar membuat hutang Indonesia mengkhawatirkan. Namun itu semua sebenarnya tidak akan terjadi krisis moneter di tahun 1998 jika rupiah tidak terdepresiasi berat terhadap US Dollar. Pada saat terjadi krisis moneter rupiah sangat melemah dari Rp 2000/USD di tahun 1997 menjadi Rp 15.000/USD di tahun 1998 sehingga menyebabkan nilai hutang dan bunga membengkak dan menyebabkan banyak perusahaan yang gagal bayar. Kita melihat bukan dari nominal melainkan dari persentase yaitu di saat krisis moneter rupiah melemah sebesar lebih dari 750% dalam setahun. Hal itu disebabkan oleh banyaknya pelaku pasar terutama para trader mata uang dunia yang berspekulasi pada mata uang di Asia Tenggara yang menyebabkan turunnya nilai mata uang tersebut. Di saat krisis global tahun 2008 mata uang rupiah juga mengalami depresiasi atau pelemahan dari Rp 9.000/USD menjadi Rp 12.000/USD namun karena porsi hutang luar negeri yang kecil maka itu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sekarang rupiah berada pada level Rp 13.500/USD dan jumlah itu sudah naik dari Rp 9.500/USD di tahun 2012 dengan kecenderungan melemah dalam 5 tahun terakhir ini. Namun itu karena efek dari Strong Dollar yang tidak hanya dirasakan oleh mata uang rupiah namun juga dirasakan oleh berbagai negara di dunia. Saat ini rupiah cenderung stabil dan bank Indonesia memiliki lebih banyak cadangan devisa negara untuk menstabilkan rupiah dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Korelasi Pertumbuhan Ekonomi dan Hutang
Ketika berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi itu berarti ada peningkatan nilai PDB sebagai tolak ukur ekonomi. Sejatinya ketika PDB mengalami pertumbuhan maka pemerintah bisa menambah hutang dan tetap pada rasio yang aman. Dengan matematika sederhana jika PDB naik sebesar 5% dan hutang naik sebesar 5% maka rasio hutang terhadap PDB akan tetap sama meskipun jumlah hutang naik. Penambahan hutang diatas laju PDBlah yang perlu dikhawatirkan karena jika laju pertumbuhan hutang melebihi laju pertumbuhan ekonomi maka itu akan membuat rasionya bertambah dan menjadi lebih berisiko.
Lalu apa arti dari ini semua?
Negara membutuhkan hutang untuk menggerakkan ekonominya dan hutang negara ditujukan pada hal-hal yang produktif dengan mengembangkan investasi di negara seperti pembangunan fasilitas umum, jalan dan mengembangkan bisnis negara sehingga perekonomian dapat tumbuh lebih besar dan penerimaan negara juga meningkat di masa depan. Dibandingkan dengan negara lain Indonesia lebih efisien dalam mengelola hutang dengan hanya menggunakan rasio 29,6% namun berhasil menggerakkan ekonomi di angka 5%. Bandingkan saja dengan negara lain yang lebih banyak menggunakan hutang namun hasil ekonomi masih saja kecil contohnya Jepang. Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara-negara maju yang memiliki rasio hutang besar namun dengan pertumbuhan ekonomi yang kecil. Setidaknya pertumbuhan hutang Indonesia sejalan dengan laju pertumbuhan ekonominya yang membuat rasio hutang terhadap PDB tidak naik secara signifikan. Menurut undang-undang Indonesia bisa berhutang hingga 60% dari PDB yang sekarang nilainya 29% dari PDB. Namun lebih baik jika rasio hutang Indonesia berada dibawah 50% yang didominasi oleh SBN dibandingkan dengan hutang luar negeri agar lebih aman.
Kesimpulan:
Memang laju penambahan hutang dalam beberapa tahun terakhir sedikit mengkhawatirkan namun rasionya terhadap ekonomi masih dalam tahap wajar. Banyak negara lain yang memiliki nilai hutang besar dibandingkan ekonominya. Selama porsi hutang luar negeri kecil dalam total hutang maka hutang tersebut bisa dikatakan aman karena hutang dengan mata uang sendiri bisa dibayar dengan mencetak mata uangnya sendiri. Hutang Indonesia saat ini di rasio terhadap PDB yang mencapai 29,6% masih dalam kategori aman karena didominasi oleh SBN dan porsi hutang luar negeri yang kecil. Selain itu pengusaha juga sudah belajar dari masa lalu sehingga tidak menggunakan hutang luar negeri untuk jangka pendek dan melakukan hedging (lindung nilai) pada hutang luar negerinya.
Rasio Hutang Indonesia Terhadap PDB |
Hutang vs PDB di Negara Lain
Setelah melihat rasio Hutang vs PDB Indonesia kita bisa membandingkannya dengan negara lain. Negara-negara lain yang maju bahkan memiliki rasio hutang terhadap PDB yang jauh lebih besar melebihi ambang wajar. Amerika Serikat misalnya memiliki rasio hutang terhadap PDB sebesar 105% yang artinya Amerika Serikat berhutang lebih besar daripada nilai ekonominya. Jepang lebih mengerikan dengan rasio sebesar 250% sedangkan itu tidak membuat negaranya mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi melainkan banyak resesi dan ekonomi melemah sekarang. Di Cina memiliki rasio 45% dan jumlahnya terus meningkat dalam 5 tahun terakhir (di tahun 2012 rasio hutang Cina 34%). Sedangkan di India cenderung konstan di angka 69%.
Rasio Hutang Amerika Serikat Terhadap PDB |
Rasio Hutang Cina Terhadap PDB |
Mengapa Negara Bisa Berhutang Melebihi Nilai PDB?
Negara-negara yang berhutang diatas PDB itu hutangnya didominasi oleh surat hutang yang dibayar dengan menggunakan mata uangnya sendiri. Negara akan mengeluarkan surat hutang dengan kupon yang telah ditentukan dan itu dibayarkan dengan mata uangnya sendiri. Rasio hutang terhadap PDB yang mencapai lebih dari 100% tetap saja bisa dibilang aman karena negara bisa mencetak mata uangnya sendiri. Ibaratnya anda meminta hutang terhadap orang lain dan anda bisa mencetak uang itu sendiri untuk membayar hutang itu. Tentu saja ini terdengar lucu oleh masyarakat awam namun hal inilah yang terjadi pada perekonomian dan tentu saja mencetak uang tidak sembarangan dan memerlukan banyak tinjauan dari banyak aspek ekonomi sehingga negara tidak bisa sembarangan dalam mencetak uang. Namun tetap saja jika negara berhutang dalam mata uangnya sendiri maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut bisa membayarnya walaupun terjadi krisis sekalipun karena negara dapat mencetak uang itu sendiri. Oleh karena itu banyak negara seperti Jepang yang berhutang Yen dan Amerika yang berhutang Dollar tetap dapat membayar hutangnya. Indonesia juga demikian, pemerintah bisa mengeluarkan surat hutang yang menggunakan rupiah dalam pembayarannya.
Perbaikan Segmen Hutang Indonesia
Berkaca pada krisis moneter di tahun 1998 Indonesia tidak ingin mengulanginya kembali. Di krisis moneter hutang luar negeri Indonesia sangat besar baik swasta maupun pemerintah. Hutang luar negeri swasta senilai US$ 63 miliar dan pemerintah senilai US$ 53 miliar sedangkan PDB Indonesia sendiri sebelum krisis moneter saat itu senilai US$ 220 miliar yang artinya jumlah utang luar negeri Indonesia saja lebih dari 50% dari total PDB belum lagi ditambah hutang dalam negeri. Di masa sekarang hutang Indonesia yang besar dalam bentuk SBN (Surat Berharga Negara) atau bisa juga disebut SUN (Surat Utang Negara) dengan berdenominasi rupiah. Dari total Rp 4.000 triliun, total hutang luar negeri pemerintah Indonesia sebesar Rp 777,6 triliun atau 19,27% dari total nilai hutang. Sisanya adalah hutang dalam bentuk SBN yang bisa dibayar dengan bentuk mata uang negara sendiri yaitu rupiah. Total hutang luar negeri Pemerintah dan Swasta sendiri berjumlah US$ 357,54 miliar yang sebesar 35,7% dari GDP. Hal itu jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan pada saat terjadi krisis moneter. Hutang itu sendiri dilakukan secara diversifikasi yaitu hutang ke berabagai negara dengan mata uang yang berbeda-beda.
Kestabilan Rupiah
Saat terjadi krisis moneter di tahun 1998 rasio hutang luar negeri Indonesia yang besar membuat hutang Indonesia mengkhawatirkan. Namun itu semua sebenarnya tidak akan terjadi krisis moneter di tahun 1998 jika rupiah tidak terdepresiasi berat terhadap US Dollar. Pada saat terjadi krisis moneter rupiah sangat melemah dari Rp 2000/USD di tahun 1997 menjadi Rp 15.000/USD di tahun 1998 sehingga menyebabkan nilai hutang dan bunga membengkak dan menyebabkan banyak perusahaan yang gagal bayar. Kita melihat bukan dari nominal melainkan dari persentase yaitu di saat krisis moneter rupiah melemah sebesar lebih dari 750% dalam setahun. Hal itu disebabkan oleh banyaknya pelaku pasar terutama para trader mata uang dunia yang berspekulasi pada mata uang di Asia Tenggara yang menyebabkan turunnya nilai mata uang tersebut. Di saat krisis global tahun 2008 mata uang rupiah juga mengalami depresiasi atau pelemahan dari Rp 9.000/USD menjadi Rp 12.000/USD namun karena porsi hutang luar negeri yang kecil maka itu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sekarang rupiah berada pada level Rp 13.500/USD dan jumlah itu sudah naik dari Rp 9.500/USD di tahun 2012 dengan kecenderungan melemah dalam 5 tahun terakhir ini. Namun itu karena efek dari Strong Dollar yang tidak hanya dirasakan oleh mata uang rupiah namun juga dirasakan oleh berbagai negara di dunia. Saat ini rupiah cenderung stabil dan bank Indonesia memiliki lebih banyak cadangan devisa negara untuk menstabilkan rupiah dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Korelasi Pertumbuhan Ekonomi dan Hutang
Ketika berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi itu berarti ada peningkatan nilai PDB sebagai tolak ukur ekonomi. Sejatinya ketika PDB mengalami pertumbuhan maka pemerintah bisa menambah hutang dan tetap pada rasio yang aman. Dengan matematika sederhana jika PDB naik sebesar 5% dan hutang naik sebesar 5% maka rasio hutang terhadap PDB akan tetap sama meskipun jumlah hutang naik. Penambahan hutang diatas laju PDBlah yang perlu dikhawatirkan karena jika laju pertumbuhan hutang melebihi laju pertumbuhan ekonomi maka itu akan membuat rasionya bertambah dan menjadi lebih berisiko.
Lalu apa arti dari ini semua?
Negara membutuhkan hutang untuk menggerakkan ekonominya dan hutang negara ditujukan pada hal-hal yang produktif dengan mengembangkan investasi di negara seperti pembangunan fasilitas umum, jalan dan mengembangkan bisnis negara sehingga perekonomian dapat tumbuh lebih besar dan penerimaan negara juga meningkat di masa depan. Dibandingkan dengan negara lain Indonesia lebih efisien dalam mengelola hutang dengan hanya menggunakan rasio 29,6% namun berhasil menggerakkan ekonomi di angka 5%. Bandingkan saja dengan negara lain yang lebih banyak menggunakan hutang namun hasil ekonomi masih saja kecil contohnya Jepang. Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara-negara maju yang memiliki rasio hutang besar namun dengan pertumbuhan ekonomi yang kecil. Setidaknya pertumbuhan hutang Indonesia sejalan dengan laju pertumbuhan ekonominya yang membuat rasio hutang terhadap PDB tidak naik secara signifikan. Menurut undang-undang Indonesia bisa berhutang hingga 60% dari PDB yang sekarang nilainya 29% dari PDB. Namun lebih baik jika rasio hutang Indonesia berada dibawah 50% yang didominasi oleh SBN dibandingkan dengan hutang luar negeri agar lebih aman.
Kesimpulan:
Memang laju penambahan hutang dalam beberapa tahun terakhir sedikit mengkhawatirkan namun rasionya terhadap ekonomi masih dalam tahap wajar. Banyak negara lain yang memiliki nilai hutang besar dibandingkan ekonominya. Selama porsi hutang luar negeri kecil dalam total hutang maka hutang tersebut bisa dikatakan aman karena hutang dengan mata uang sendiri bisa dibayar dengan mencetak mata uangnya sendiri. Hutang Indonesia saat ini di rasio terhadap PDB yang mencapai 29,6% masih dalam kategori aman karena didominasi oleh SBN dan porsi hutang luar negeri yang kecil. Selain itu pengusaha juga sudah belajar dari masa lalu sehingga tidak menggunakan hutang luar negeri untuk jangka pendek dan melakukan hedging (lindung nilai) pada hutang luar negerinya.
0 komentar:
Post a Comment